Seorang
ibu kebingungan. Ia memotong rambut anak perempuannya yang baru berumur
tiga tahun tetapi rambut di kepala anaknya tersebut ternyata terlalu
pendek dengan bentuk yang tak beraturan. Si ibu merasa sangat bersalah
dan terus memandangi rambut anaknya. Ia berpikir, apalagi yang dapat
dilakukannya untuk membuat penampilan anaknya lebih baik. Namun, tak ada
lagi yang dapat dilakukannya, selain menunggu rambut di kepala anaknya
kembali tumbuh.
Si ibu
kemudian memandangi anaknya dan meminta maaf pada anaknya. Ia menyatakan
rasa bersalahnya dan meminta maaf bahwa ia belum dapat memotong rambut
sang anak dengan baik. Sang anak pun memandangi ibunya dan memandangi
wajah dan rambut barunya di cermin. Wajahnya sedikit bingung dengan
penampilan barunya. Namun, tak lama, senyumnya pun mengembang. Anak
perempuan kecil tersebut lalu memeluk sang ibu. Ia berbisik, “Iya nggak
papa Bunda, nanti lambutku panjang sepelti Bunda.” Anak itu pun kemudian
mencium pipi ibunya.
Sang ibu
sangat terkejut dengan respon anaknya. Ia mengira bahwa anaknya akan
menangis melihat rambut barunya yang terlihat sangat mengecewakan dan
acak-acakan tersebut. Yang bahkan dimata suaminya, rambut sang anak
terlihat seperti bola dibelah setengah, lengkap dengan pitak di bagian
belakang. Sang ayah bahkan tak henti menertawakan si anak. Namun, si
anak terlihat tak peduli dan malah menghambur ke pelukan ibunya dengan
gembira.
tulah
anak. Hatinya yang polos dan nuraninya yang bening, membuatnya begitu
mudah memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain. Si ibu jadi merasa
malu sendiri dengan dirinya. Seringkali, ia begitu cepat marah dengan
tindakan anaknya yang dianggapnya salah dan menghukum anaknya. Hukuman
tersebut pun berlangsung selama beberapa waktu dengan anggapan, dengan
cara demikian, si anak akan belajar akan akibat dari kesalahan yang
dilakukannya. Kini, ketulusan si anak memaafkannya, membuat si ibu sadar
bahwa anaknya yang baru tiga tahun tersebut, baru saja mengajarinyan
tentang arti ketulusan dan memaafkan.
Rasulullah
SAW bersabda, “Tidak akan berkurang harta karena sedekah dan tidak akan
ada seorang pun dizalimi kemudian memberi maaf melainkan Allah akan
menambah kemuliaan dirinya.” (HR. Ahmad)
.
Anak
dengan ketulusannya memberi maaf, merupakan salah satu contoh dari
bagaimana memberi maaf justru semakin mengeratkan kasih sayang dan
memuliakan diri sang pemberi maaf. Memaafkan tentu bukan karena si
pemberi maaf berada di posisi yang lemah, yang karena itu, dia “harus”
memaafkan. Justru karena memaafkan itulah seseorang akan berada di
posisi yang lebih mulia karena mampu mengendalikan dirinya sendiri dari
kemarahan dan memilih memaafkan, di situasi ketika ia berpeluang
membalas kezaliman.
Belajar
dari anak memang akan mengajari kita tentang makna-makna sejati
kehidupan. Fitrahnya yang masih bersih membuat kita akan melihat
bagaimana seharusnya seorang manusia menyikapi setiap masalah. Semoga
fitrah ini dapat kita jaga dari kepalsuan aturan manusia dan ego kita
sendiri sebagai orangtua. [‘Aliya/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar