Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Airmatanya berlinang
Mas intannya terkenang
Sedang bersusah hati
Airmatanya berlinang
Mas intannya terkenang
Lagu sedih di atas sering kita dengar
akhir-akhir ini. Ya… Indonesia sedang menangis. Indonesia sedang
berduka. Bencana alam banyak menimpa negeri ini di beberapa minggu
terakhir ini. Mulai tsunami Wasior dan Mentawai serta letusan gunung
Merapi. Ratusan hingga ribuan jiwa melayang, berpuluh-puluh ribu
terlunta-lunta sebagai pengungsi. Tak terhitung lagi kerugian materi
serta non materi. Banyak yang stress bahkan berubah menjadi gila
menyikapi kesedihan ini.
Sobat muda, bencana adalah salah satu
bukti kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya melalui alam. Yakinlah, ada
banyak hikmah terkandung di dalam terjadinya sebuah peristiwa. Tak ada
satu pun kejadian yang terjadi dengan sia-sia. Tinggal seberapa jauh
manusia bisa memahami apa yang ingin disampaikan Allah melalui salah
satu tanda-tanda kekuasaan-Nya itu.
Sebagaimana yang diindikasikan oleh
Rasulullah sebelumnya bahwa dalam diri seorang muslim itu baik selalu
keadaannya. Bila ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur. Dan bila pun
ditimpa malapetaka dan kesedihan, maka ia akan bersabar. Syukur dan
sabar itu sama-sama baik bagi dirinya. Begitu pun dengan adanya bencana
ini. Bila disikapi dengan penuh kesabaran, hanya kebaikan saja yang aka
nada. Baik itu pada diri yang sedang tertimpa musibah, ataupun bagi diri
yang jauh dari musibah. Semua mempunya takaran dan takdir
masing-masing.
Tapi bencana ini juga sepatutnya membuat
bangsa ini termenung dan introspeksi. Sepintar dan secanggih apa pun
manusia, ia hanya berupa makhluk lemah di hadapan-Nya. Seawas apa pun
badan pengawas Merapi dengan segala kecanggihan teknologinya, siapa yang
mampu menghalangi bila gunung ini melaksanakan titah Rabbnya untuk
meletus. Begitu juga dengan mitos Mbah Marijan, sang penunggu Merapi.
Banyak yang hampir-hampir mengkultuskan dirinya karena kemampuannya
‘membaca’ gerak Merapi. Tapi pada akhirnya, sosok laki-laki ini
meninggal juga beserta beberapa wartawan dan penduduk yang memilih
bertahan di lokasi berbahaya. Sungguh, setiap jiwa pasti akan merasakan
mati.
Begitu juga dengan para pemimpin negeri
ini. Semua bencana ini merupakan teguran bagi mereka bahwa telah banyak
lalai dan maksiat yang direstui atas nama jati diri. Tak jarang di
antara mereka suka sekali melontarkan kalimat yang menyakitkan hati para
pengungsi. Andai mereka sendiri yang tertimpa musibah itu, masih
bisakah mereka bercongkak diri?
Sungguh, saatnya introspeksi bagi semua
pihak atas bencana yang menimpa. Bisa jadi ini semua ada andil kita di
dalamnya. Ketika kemaksitan menjadi biasa di sebuah negeri, maka bencana
berupa adzab bisa saja terjadi. Naudzubillah. Semoga saja semua hal
yang terjadi hanya merupakan teguran dari Allah agar kta segere berbenah
diri. Jangan malah semamin bangga dengan dosa-dosa dan kemaksiatan yang
semakin membudaya.
Saatnya kita merenung dan berbenah diri.
Semoga semua bencana ala mini ‘hanya’ merupakan fenomena alam yang akan
membuat kita semakin merendahkan diri, tunduk dan patuh pada-Nya saja,
bukan yan lain. Wallahu ‘alam. [riafariana/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar