Kamis, 19 April 2012

Ketika Ibu Pertiwi Berduka

Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Airmatanya berlinang
Mas intannya terkenang
     Lagu sedih di atas sering kita dengar akhir-akhir ini. Ya… Indonesia sedang menangis. Indonesia sedang berduka. Bencana alam banyak menimpa negeri ini di beberapa minggu terakhir ini. Mulai tsunami Wasior dan Mentawai serta letusan gunung Merapi. Ratusan hingga ribuan jiwa melayang, berpuluh-puluh ribu terlunta-lunta sebagai pengungsi. Tak terhitung lagi kerugian materi serta non materi. Banyak yang stress bahkan berubah menjadi gila menyikapi kesedihan ini.
    Sobat muda, bencana adalah salah satu bukti kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya melalui alam. Yakinlah, ada banyak hikmah terkandung di dalam terjadinya sebuah peristiwa. Tak ada satu pun kejadian yang terjadi dengan sia-sia. Tinggal seberapa jauh manusia bisa memahami apa yang ingin disampaikan Allah melalui salah satu tanda-tanda kekuasaan-Nya itu.

     Sebagaimana yang diindikasikan oleh Rasulullah sebelumnya bahwa dalam diri seorang muslim itu baik selalu keadaannya. Bila ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur. Dan bila pun ditimpa malapetaka dan kesedihan, maka ia akan bersabar. Syukur dan sabar itu sama-sama baik bagi dirinya. Begitu pun dengan adanya bencana ini. Bila disikapi dengan penuh kesabaran, hanya kebaikan saja yang aka nada. Baik itu pada diri yang sedang tertimpa musibah, ataupun bagi diri yang jauh dari musibah. Semua mempunya takaran dan takdir masing-masing.
     Tapi bencana ini juga sepatutnya membuat bangsa ini termenung dan introspeksi. Sepintar dan secanggih apa pun manusia, ia hanya berupa makhluk lemah di hadapan-Nya. Seawas apa pun badan pengawas Merapi dengan segala kecanggihan teknologinya, siapa yang mampu menghalangi bila gunung ini melaksanakan titah Rabbnya untuk meletus. Begitu juga dengan mitos Mbah Marijan, sang penunggu Merapi. Banyak yang hampir-hampir mengkultuskan dirinya karena kemampuannya ‘membaca’ gerak Merapi. Tapi pada akhirnya, sosok laki-laki ini meninggal juga beserta beberapa wartawan dan penduduk yang memilih bertahan di lokasi berbahaya. Sungguh, setiap jiwa pasti akan merasakan mati.
     Begitu juga dengan para pemimpin negeri ini. Semua bencana ini merupakan teguran bagi mereka bahwa telah banyak lalai dan maksiat yang direstui atas nama jati diri. Tak jarang di antara mereka suka sekali melontarkan kalimat yang menyakitkan hati para pengungsi. Andai mereka sendiri yang tertimpa musibah itu, masih bisakah mereka bercongkak diri?

     Sungguh, saatnya introspeksi bagi semua pihak atas bencana yang menimpa. Bisa jadi ini semua ada andil kita di dalamnya. Ketika kemaksitan menjadi biasa di sebuah negeri, maka bencana berupa adzab bisa saja terjadi. Naudzubillah. Semoga saja semua hal yang terjadi hanya merupakan teguran dari Allah agar kta segere berbenah diri. Jangan malah semamin bangga dengan dosa-dosa dan kemaksiatan yang semakin membudaya.
Saatnya kita merenung dan berbenah diri. Semoga semua bencana ala mini ‘hanya’ merupakan fenomena alam yang akan membuat kita semakin merendahkan diri, tunduk dan patuh pada-Nya saja, bukan yan lain. Wallahu ‘alam. [riafariana/voa-islam.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar